RINJANI TOURS & TRAVEL MELAYANI PERJALANAN ANDA DENGAN SOPAN DAN AMANAH

Selasa, 01 Juni 2010

Reformasi-Total Islam

“(Yang benar itu) bukanlah menurut angan-anganmu (hai orang beriman) dan bukan pula menurut angan-angan Ahli Kitab. Siapa yang berbuat jahat akan diberi hukuman kejahatan (yang dilakukannya) itu. Dan ia tidak akan memperoleh pelindung dan penolong selain dari Allah” (Q.s. an-Nisâ [4]:123).

Selama ini banyak kaum Muslimin yang beriman pada al-Qur`an dengan lisannya namun kafir dalam amal perbuatannya seraya mengharap pahala dan surga. Sikap dan perilaku semacam ini harus direformasi (ishlah) agar Allah tidak murka lantaran kita antakûlu mâ lâ taf’alûn, mengatakan sesuatu yang tidak diperbuat alias NATO (No Action Talk Only), double face atau munafik.
Bukti paling jelas dari keimanan seseorang adalah menyadari sepenuhnya bahwa dirinya hamba Allah. Kemudian ia bertekad meninggalkan masa lalunya yang buruk, namun sebaliknya ia kini mengikuti kebenaran yang datang dari Allah secara kaffah. Inilah yang disebut reformasi atau ishlah.
Reformasi dalam pengertian ini dimaksudkan dua hal. Pertama, “Tazkiyatul Akidah” (pemurnian akidah) supaya bersih dari syirik, nifak dan kufur. Kedua, “Tasfiyatul Ibadah” (pembersihan ibadah) sehingga terbebas dari penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat). Jadi, tujuannya adalah pemurnian dan pembersihan akidah dan ibadah dari segala hal yang mengotorinya supaya bersih seperti yang dikehendaki al-Qur'an.
Esensi dari akidah Islam adalah tauhidullah, yang mencakup tauhid uluhiyah (Allah sebagai sesembahan manusia) dan tauhid rububiyah (Allah sebagai penguasa alam semesta). Formulasi paling pendek tapi prinsipil dari tauhidullah tercakup dalam kalimah tayibah: Lâ Ilâha illallah, dan Muhammadur Rasulullah”, merupakan esensi dari tauhidur risalah (sebagai sosok yang memiliki otoritas mutlak dari Allah untuk menyampaikan dienul Islam). Inilah konsepsi dasar dalam akidah Islam yang menempati kedudukan paling puncak sebagai basis keyakinan/keimanan setiap mukmin, yang menafikan semua tuhan palsu yang mengatur manusia, yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk penyembahan palsu yang membelenggu jiwa manusia, dan kemudian memasrahkan dirinya kepada manhaj dan perintah Allah yang bisa melahirkan kebaikan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Kalimat persaksian ini merupakan dasar dari suatu sistem dan tata nilai yang akan terbangun di atasnya, yang pada gilirannya menjadi barometer keberpihakan seseorang, ketika menerima atau menolak sesuatu dalam menjalani kehidupan ini. Akidah bagi individu mukmin berfungsi sebagai nuqthah inthilaqiyah, yaitu titik berangkat (starting point) dalam setiap amalnya, atau dawafi’u taujihat, yaitu motivasi dan orientasi amaliyah. Maka, dapat dipastikan bahwa Muslim muwahhid tidak akan mau diatur dengan hukum yang bukan hukum Allah. Inilah bukti paling jelas yang menunjukkan kesahihan tauhid seseorang, yaitu Allah minded.
Seorang muwahhid tidak akan pernah menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau teman akrab, sekalipun dengan itu dia memperoleh keuntungan politik atau kemakmuran ekonomi. Siapa saja yang memeluk Islam, kemudian mengingkari akidahnya, entah dengan alasan toleransi ataupun kerukunan hidup beragama, maka ia telah kufur yang membawa konsekuensi gugur atau tertolak amalnya. Allah memperingatkan dalam firman-Nya: “Hai orang-orang beriman! Janganlah kamu mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (penolong). Mereka satu sama lain tolong menolong. Siapa saja yang mengangkat mereka menjadi walinya, maka ia masuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak menyukai kaum yang aniaya” (Q.s. a1-Mâ`idah [5]: 51).
Asal-usul akidah setiap utusan Allah tersimpul dalam firman Allah: “Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya: bahwa tidak ada illah yang hak selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku” (Q.s. al-Anbiyâ`, [21]: 25).
Pokok dan asas dienullah dapat dipahami melalui ayat ini: bahwa kalimat tauhid Lâ ilâha illaIIah merupakan fondasi dari bangunan Islam, sehingga manusia tauhid hanya mengikhlaskan ibadahnya untuk Allah, menjauhi syirik dan menyingkirkan segala bentuk tuhan yang lain, baik berbentuk manusia, patung atau makhluk lain ciptaan Allah. Sungguh, tauhid ini mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membangun mental dan akhlak manusia. Jadi, tauhidul Islam merupakan gerakan pembebasan terbesar di dalam sejarah kemanusiaan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana menyembah Allah, dan bagaimana pula menyingkirkan syirik serta penyembahan terhadap berhala?
Sayyid Quthb, dalam kitabnya Ma’âlim fî ath-Tharîq, mengatakan, “tauhid adalah suatu sistem, dan syirik juga suatu sistem. Keduanya tidak akan pernah bertemu. Sebagai suatu sistem, tauhid mengarahkan manusia, bahkan seluruh wujud ini hanya kepada Allah. Manusia tauhid adalah sosok pribadi yang secara total menyerahkan hidup dan kehidupannya, jiwa dan raganya, wawasan dan pikirannya, niat serta amal perbuatannya, hanya untuk Allah, ibtighai mardhatillah.
Karakteristik manusia muwahhid atau mukmin haqqan adalah seluruh jiwa raganya, hasrat dan kecenderungannya berada dalam lingkaran ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Mereka itulah yang dikenal sebagai pribadi-pribadi shibghatullah. Manusia muwahhid tidak akan pernah dengan rela hati menyerahkan ketaatannya kepada selain Allah, tidak akan tunduk kecuali pada aturan Allah, sekalipun yang selain Allah itu adalah raja diraja, yang dipertuan agung. “Dan tidaktah diperintahkan kepadamu selain menyembah Allah, mengikhlaskan agama bagi-Nya, mendirikan shalat dan membayar zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus” (Q.s. aI-Bayyinah [98]: 5).
Berdasarkan pengertian ini, memberikan ketaatan dan kesetiaan kepada selain Allah, atau menaati perintah orang yang menolak hukum yang diturunkan Allah berarti menyekutukan Allah dengannya. Kultus individu, mengikuti tradisi nenek moyang, dan tunduk pada dorongan hawa nafsu tanpa bimbingan syariah termasuk thâghût (berhala) yang harus ditinggalkan.
“Maka siapa saja yang ingkar kepada thâghût dan beriman kepada Allah, sesunggguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus...” (Q.s. al-Baqarah [2]: 256).
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari mendefinisikan thâghût sebagai, berikut: “setiap orang yang melangkahi hak Allah, lalu ia memperhamba orang yang berada di bawahnya, adakalanya dengan paksaan dari ia atas orang tersebut atau dengan ketaatan orang yang diperhamba kepadanya; bersamaan dengan itu ada yang mendewakan manusia, setan, patung, berhala ataupun wujud lainnya.”

“(Yang benar itu) bukanlah menurut angan-anganmu (hai orang beriman) dan bukan pula menurut angan-angan Ahli Kitab. Siapa yang berbuat jahat akan diberi hukuman kejahatan (yang dilakukannya) itu. Dan ia tidak akan memperoleh pelindung dan penolong selain dari Allah” (Q.s. an-Nisâ [4]:123).

Mengapa orang-orang kafir bisa bersatu di atas kebatilan, dan di antara mereka mudah bersepakat apabila hendak menghancurkan Islam dan umat Islam? Sebaliknya, orang-orang Islam bercerai-berai di atas kebenaran agamanya, dan amat sulit diajak bersatu menghadapi kekafiran dan orang-orang kafir. Mungkinkah harakah Islamiyah dan partai-partai Islam yang demikian banyak dewasa ini bisa bersatu memperjuangkan kebenaran, tanpa harus berpecah dan bermusuhan di antara sesama aktivis haraki?
Maka, siapa yang ingin mengetahui hakikat dirinya di hadapan Rabbul ’Âlamîn, hendaknya ia melihat amal apakah yang diamanahkan Allah kepadanya. Kemudian, bacalah al-Qur`an dan hisab lah diri masing-masing. Renungkanlah firman Allah Swt di bawah ini :
“Belumkah tiba masanya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hatinya mengingat Allah dan tunduk pada kebenaran yang telah diturunkan kepada mereka? Janganlah mereka seperti orang-orang yang telah diturunkan al-Kitab sebelum mereka. Setelah masa panjang berlalu, hati mereka menjadi kesat. Dan mayoritas mereka adalah orang-orang fasik.” (Q.s. aI-Hadîd [57]:16).

Pertarungan antara Islam dan kekufuran, antar kebenaran dan kebatilan takkan pernah usai. Permusuhan keduanya bersifat abadi, sampai kebatilan itu lenyap dari muka bumi, atau kebenaran itu sendiri musnah tak muncul lagi. Selama al-haq masih ada dan al-bathil terus merajalela, maka perseteruan antara keduanya niscaya tidak akan pernah berhenti. Tidak ada kompromi, juga tidak ada toleransi, sebab yang haq sudah jelas dan yang batil pun sudah terang sosoknya.
Pertikaian akan bertambah seru dan panas, manakala kaum munafik dan kelompok mudzabdzabin (orang-orang bingung yang tidak berpihak kepada kaum mukminin, juga tidak mau digolongkan kaum kafirin) ikut berperan serta menyulut api kebencian menentang kebenaran.
Sejak awal sejarahnya, Islam selalu menjadi sasaran serangan kelompok batil. Berapa banyak sudah, ideologi dan aliran kepercayaan yang berusaha meracuni ruh Islam, menodai kemurnian akidahnya dan melecehkan ajarannya. Dalam rentang waktu yang demikian panjang, Islam kerap kali didiskreditkan serta diharu-birui oleh pemikiran atau tradisi jahiliyah yang dilakukan oleh orang-orang sesat.
Masalahnya, masing-masing memiliki pendukung yang siap membela dan melaksanakan ajarannya. Kebenaran punya pengikut yang siap berkorban harta dan nyawa demi mempertahankan eksistensinya dari rongrongan musuh kafir. Sebaliknya, kebatilan juga memiliki pendukung fanatik yang —karena kesesatan dan tipu daya setan— rela mempertaruhkan segala miliknya demi menjaga kelestariannya. Kenyataan itulah, bila ada seribu pembangun dan satu penghancur sudah cukup berat kita hadapi, bagaimana kalau ada seribu penghancur dan hanya satu pembangun, apa yang akan terjadi. (hkl)